Strategi Memperbaiki Ranking Perguruan Tinggi Melalui SINTA Oleh: Dwi Sulisworo

- Kamis, 9 September 2021 | 16:31 WIB
10 besar PTN di SINTA. Data diolah dari SINTA Kamis (9/9/2021). (Dwi Sulisworo)
10 besar PTN di SINTA. Data diolah dari SINTA Kamis (9/9/2021). (Dwi Sulisworo)

SEPERTINYA, sudah menjadi lazim bahwa ranking perguruan tinggi menjadi bagian ukuran bonafiditas layanan pendidikannya. Berbagai pemeringkatan baik nasional maupun internasional tetap menjadi barometer calon mahasiswa ketika akan kuliah. 

Pada tingkat internasional, yang sering dirujuk perguruan tinggi di Indonesia untuk pemeringkatan adalah seperti Webometrics, QS, atau 4ICU. Pada tingkat nasional, Dikti rutin melakukan pemeringkatan berdasar kinerja penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan juga prestasi mahasiswa. Ada basis data yang dikelola Dikti yang dapat digunakan untuk melihat peringkat dari sisi publikasi ilmiah, yaitu SINTA.

SINTA (Science and Technology Index)

Website SINTA pada awalnya dikelola oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), yang sekarang telah dilebur ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). 

Baca Juga: Info Loker Terbaru Indofood di Bulan September 2021

Data di SINTA bersifat dinamis, yang diperbarui setiap periode tertentu. Sehingga bisa saja berubah dalam setiap bulan. Menu yang dapat digunakan untuk melihat peringkat adalah menu Top 100 Affiliations. 

Peringkat didasarkan pada akumulasi nilai (score) dari semua data yang ada di SINTA dari perguruan tinggi terkait. 

Bagaimana Menghitung Skor?

Komponen untuk menghitung skor ini berkembang terus-menerus sesuai dengan kepentingan yang diharapkan tumbuh di perguruan tinggi. Saat ini, komponen pemeringkatan mencakup jumlah artikel dan sitasinya di Scopus, jumlah sitasi di Google Scholar, jumlah artikel di jurnal terakreditasi nasional, dan jumlah jurnal terakreditasi yang dikelola perguruan tinggi.

Baca Juga: 5 Gubernur Indonesia dengan Kekayaan Tajir Melintir

Tiap komponen memiliki bobot berbeda. Bobot tertinggi pada Publikasi Scopus 1 (skor 40) dan memiliki Jurnal Terakreditasi S1 (skor 40). 

Srategi Efektif

Coba kita analisis sebentar pada aspek ini. Jika seorang dosen atau peneliti perguruan tinggi berhasil melakukan publikasi di jurnal yang terindeks Scopus dan masuk kriteria Q1, maka nilainya akan sama dengan jika perguruan tinggi tersebut berhasil mengelola jurnal terakreditasi S1. Bayangkan, usaha yang diperlukan untuk meraih skor itu? 

Pada perguruan tinggi dengan sumber daya terbatas, akan lebih efektif untuk mengejar skor dari publikasi artikel. Publikasi ini tidak harus dosen sendirian dan dari perguruan tinggi sendiri.

Halaman:

Editor: Affan Safani Adham

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X