• Selasa, 26 September 2023

Membangun Sistem Agribisnis Jagung Berbasis Kelembagaan Ekonomi Petani/Koperasi, Solusi Permanen Masalah Harga

- Senin, 27 September 2021 | 04:00 WIB
Prof. DR. Ir. Fadel Muhamad Wakil Ketua MPR RI, dan Ketua Umum DPP Masyarakat Agiribisnis Indonesia  (foto: dok.MPR RI)
Prof. DR. Ir. Fadel Muhamad Wakil Ketua MPR RI, dan Ketua Umum DPP Masyarakat Agiribisnis Indonesia (foto: dok.MPR RI)

JAGUNG merupakan komodity strategis nasional, dengan luas panen 5.16 juta Ha , produktifitas rata-rata 4.8 ton/ha dan produksi 24.95 juta Pipilan Kering (Pusdatin Kementan 2021), dan melibatkan jutaan petani, 94 unit Pengusaha Pabrik Pakan, ratusan ribu peternak rakyat, dan jutaan konsumen dan telah menempatkan Indonesia termasuk produsen jagung no 6 diantara 12 negara produsen jagung dunia. Oleh karena itu masalah jagung akan berdampak pada dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM).

Sejak tahun 2018 Kementrian Pertanian tidak menerbitkan rekomendasi izin impor jagung, adapun impor yang masuk bukan untuk pakan, tetapi untuk bahan baku industri, sebagai pemanis, lebih kurang 1 juta ton.

Sampai sekarang persoalan klasik agribisnis jagung di Indonesia belum terselesaikan secara komprehensif dan fundemental. Setiap kali ada pertemuan petani, peternak rakyat, pengusaha pabrik pakan, dengan pejabat pemerintah mulai Bupati sampai Presiden baik dalam forum resmi mapun tidak resmi selalu muncul persoalan.

Baca Juga: Biaya Membengkak, Herman Khaeron Minta BPK Audit Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Mulai ditingkat petani jagung, selalu mengatakan bahwa kami sudah menanam jagung tapi tidak ada yang membeli, kalau ada yang membeli harganya kurang layak, kalau harga sudah layak sulit mendapat benih yang bermutu , pupuk, dan jasa alat pertanian dengan harga layak, permodalan dengan prosedur sederhana dan sebagainya.

Sementara dipihak pengusaha hulu (benih, pupuk, pestisida, dan alsintan) sulit menjual produk secara cash, sementara KUR untuk petani jagung tidak terserap sesuai target karena Bank pelaksana KUR tetap berprinsip sukses penyaluran, pemanfaatan dan pengembalian, untuk itu harus ada avalis.

Selanjutnya dipihak pengusaha pabrik pakan, mengatakan bahwa produksi jagung dalam negeri tidak cukup, kalaulah cukup kualitasnya kurang baik, dan kalau kualitasnya baik harga mahal, sehingga mengambil jalan pintas yaitu lebih baik impor. Sementara peternak unggas mengatakan harga pakan mahal, karena harga jagung mahal.

Baca Juga: BURT Dorong Profesionalisme Layanan Bandara Meski Terdampak Pandemi

Hal tersebut muncul lagi pada kunjungan Presiden ke Blitar, Jatim 2 minggu lalu seorang peternak memprotes atas kenaikan harga jagung dari Rp 4.200 menjadi Rp 6.000/kg yang menyebabkan kenaikan harga pakan, sementara harga telur mengalami penurunan dari sekitar Rp 20.000 menjadi sekitar Rp 15.000/kg.

Berdasarkan uraian teresebut diatas, dapat dirumuskan bahwa; “Apapun persoalan agribisnis jagung baik ditingkat petani maupun konsumen dan pengusaha hulu-hilir yang selalu muncul, ini menunjukkan bahwa sistem agribisnis jagung belum terbangun dengan baik, mulai ditingkat lapak maupun ditingkat pengambilan keputusan.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyelesaikan persolaan ini secara fundamental, sistematis dan berjangka panjang dan tidak symptomatic , serta tidak partial dan jangka pendek?. Oleh karena itu kita harus bangun sistem agribisnisnya, mulai dari sub-sistem hulu sampai hilir.

Baca Juga: Tingkatkan Minat Baca Masyarakat, Komisi X Berharap Daerah Kembangkan Pojok Baca

Agar sistem ini terbangun secara berkesinambungan, ada 3 pertanyaan kunci (key question) harus terjawab:; 1. Harus ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab di hulu, tengah, dan hilir, 2). Bagaimana interkoneksinya antar pemangku kepentingan (Stake holders) untuk saling membesarkan, dan 3). Siapa yang menjadi derigen (pemerintah?) yang mensinkronisasikan dan mensinergikan agar semua pemangku kepentingan mendapat keuntungan yang layak sesuai resiko dan pengorbanan (sacrifice) masing-masing pihak. Sepanjang 3 persolaan ini tidak terjawab dengan baik, maka persolan klasik tersebut akan selalu muncul dan akan mengancam keberlanjutan (subtainability) sistem agribisnis jagung di Indonesia.

Dengan terbangunnya sistem ini, masalah harga jagung yang layak terutama ditingkat petani mendapat perlindungan, jangan diserahkan ke mekanisme pasar, pihak yang lemah akan tergilas terutama petani.

Hasil identifikasi dan inventarisasi persoalan sistem agribisnis jagung menunjukkan bahwa; 1). Tidak ada Kembagaan Ekonomi Petani (KEP) seperti yang diamanatkan dalam UU No 19 tahun 2013, dalam hal ini Koperasi Petani yang menghubungkan pihak yang bergerak di hulu dalam hal ini petani jagung dan para pengusaha agribisnis yang bergerak di penyedaian sarana, jasa alsintan, permodalan pengolahan dan pemasaran, dan 2). Kurangnya peran pemerintah sebagai derigent , agar semua pemangku kepentingan merasa diuntungkan dari pembagian margin dari bisnis jagung ini. Untuk itu bagaimana ada kebijakan yang berpihak dari pemerintah untuk lebih mereposisikan kelembagan ekonomi petani/koperasi dan BUMD sebagai penyedia pelayanan (delivery system) bagi petani, dan menjadi avalis dengan pihak penyedia dana/permodalan bunga rendah/tanpa bunga, tanpa agunan dan sistem bagi hasil.

Halaman:

Editor: Ibrahim Umar

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Review Politik Hari Ini

Sabtu, 2 September 2023 | 16:00 WIB

May Day 2023

Senin, 1 Mei 2023 | 21:36 WIB

Nyepeda dan Krisis Energi oleh: Afnan Hadikusumo

Sabtu, 9 Oktober 2021 | 06:50 WIB

Ekuilibrium: Agama dan Negara

Senin, 27 September 2021 | 11:30 WIB

Mencari Keadilan dalam Perpajakan

Jumat, 27 Agustus 2021 | 11:16 WIB
X