Ekuilibrium: Agama dan Negara

- Senin, 27 September 2021 | 11:30 WIB
Sutiyono, M.Pd. (dok pribadi)
Sutiyono, M.Pd. (dok pribadi)

POLEMIK agama dan negara akhir-akhir ini mengemuka kembali, setelah sekian lama founding fathers telah sepakat mendirikan negara Indonesia dengan berbagai keberagamannya. Masalah ini seakan menjadi bahaya laten bagi setiap perubahan generasi memunculkan perspektif baru tentang tata cara beragama ditengah negara yang berbhinneka.

Cara pandangan yang keliru tentang beragama akan menyebabkan tindakan yang intoleran. Misalnya, kasus intoleran bom bunuh diri yang meledak di gereja katedral Makassar (sumber: www.krjogja.com, 28 Maret 2021). Semua agama di Indonesia tidak ada yang membenarkan tindakan arogan tersebut. Di sinilah pentingnya pemahaman tentang beragama dan bernegara.

Tiga Paradigma Hubungan Agama dan Negara

Setidaknya terdapat tiga paradigma hubungan agama dan negara yang dapat kita jadikan referensi. Pertama, paradigma sekuler, merupakan paham yang membuat penilaian secara bipolar antara urusan agama dan urusan negara. Dalam pandangan sekuler ini, urusan dunia tidak perlu dikaitkan dengan urusan akhirat (agama).

Baca Juga: Cek Fakta: Kaitannya Vaksinasi Covid-19 dengan Pecahnya Pembuluh Darah

Tugas agama hanya terkait kepada Tuhan dalam konteks ibadah. Selain itu, agama tidak berhak intervensi. Paradigma ini berpandangan bahwa urusan agama dipisahkan dengan urusan negara. Agama mengatur umat untuk kesiapan hari kemudian (akhirat) saja. Negaralah yang berhak mengatur umat untuk kehidupan dunia.

Kedua, paradigma formalistik. Paradigma ini memandang bahwa agama tidak sekedar doktrin yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja, tetapi juga berusaha membangun sistem ketatanegaraan. Agama merupakan tipikal sosio-politik dimana fungsi agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Melainkan, terbentuk secara formalistik-legal dalam suatu wadah yang bernama negara agama. Paham ini sering mengarahkan pada paham dan gerakan radikal dalam kejuangan.

Ketiga, paradigma substantif. Paham ini menempatkan hubungan agama dengan negara bersifat saling membutuhkan. Negara memerlukan panduan etika dan moral keagamaan. Agama memerlukan kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya. Pandangan ini tidak menjadikan agama sebagai ideologi negara, tetapi yang diprioritaskan ialah berlakunya nilai dan substansi ajaran agama dalam kehidupan sosial.

Baca Juga: Mulai Oktober, Fitur PeduliLindungi Bisa Diakses di Aplikasi Lain

Paradigma Substantif sebagai Ekuilibrium Agama dan Negara

Ketiga paradigma ini perlu disosialisasikan kepada generasi muda agar tidak salah kaprah dalam memahami hubungan agama dan negara. Di samping itu, sejarah berdirinya bangsa ini juga tidak kalah penting untuk menanamkan toleransi antarumat beragama. Sejak awal kemerdekaan, kita lebih menggunakan paradigma substantif demi persatuan dalam kebhinnekaan (unity in diversity).

Paradigma substantif memiliki tujuh prinsip ajaran agama dalam bernegara. Prinsip tersebut diantaranya al syura (consultation)/musyawarah; al musawa (equality) keadilan & al ikha (brotherhood) persaudaraan; al adallah (justice) honesty, fairness, integrity; al hurriyah (freedom) kebebasan yang bertanggungjawab; al amanah (trust) saling percaya; al salam (peace) kedamaian; al tasamuh (tolerance) toleransi. Semangat persatuan itulah, yang menjadikan Indonesia dengan ideologi Pancasila masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Pancasila ditempatkan sebagai dasar negara Indonesia sudah tepat. Dipilihnya Pancasila merupakan konsensus di antara kaum agama dan nasionalis. Yudi Latif dalam bukunya Revolusi Pancasila juga menyebutkan bahwa dipilihnya ideologi Pancasila karena mengambil titik tengah dari paham demokratis, agamis, dan nasionalis.

Baca Juga: Banyak Kartel Pangan, Gus Jazil Pertanyakan Implementasi Kebijakan Pertanian

Ekuilibrium atau keseimbangan patut kita lestarikan untuk menghasilkan apa yang dimaksud dengan at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Sejarah telah membuktikan bahwa ulama-ulama Islam yang jumlahnya mayoritas di Indonesia menghendaki Pancasila dipilih sebagai simbol persatuan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Halaman:

Editor: Putri Susanti

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X