PEKAN ketiga Agustus 2021 ini, saya diundang oleh Fraksi PAN DPR dan Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI untuk membahas dan memberikan masukan tentang RUU Ketentuan Umum dan Tata Kerja Perpajakan (KUP) yang sudah direvisi 5 kali sejak 1983.
Hal yang menarik, RUU ini mirip UU sapu jagat Cipta Kerja. Bedanya, RUU ini sapu jagat dalam bidang perpajakan. Spirit RUU ini, atau tarikan nafas dengan UU Cipta Kerja.
Hal yang menggelitik, dimasukkannya klausul baru tentang tax amnesty (pengampunan pajak) yang pada 2016-2017 sempat heboh dan digadang-gadang bisa menambal jumbo penerimaan negara ribuan triliun rupiah melalui dana repatriasi dan deklarasi.
Kata Menkeu tatkala itu, ada Rp 14 ribu triliun dana warga kita yang diparkir di negeri asing yang bisa ditarik masuk ke Bumi Pertiwi. Imajinasi saya tatkala itu, pasti rakyat kita segera sejahtera dan utang luar negeri pun terbayar tuntas. Apa yang terjadi? Hanya rumput yang bergoyong yang bisa menjawabnya!
Anehnya, dalam RUU KUP klausul ini “berani” dimasukkan. Saya pun mengapresiasi. Semoga RUU ini dijelaskan sanksi-sanksinya dan implementasinya tidak tumpul di tengah jalan digebuk oleh pemilik modal jumbo dengan pelbagai dalih yang dibuat-buat untuk menghindar.
Selanjutnya, tetang pajak emisi karbon. Saya mengapresiasi. Apalagi di tengah suasana perubahan iklim global, di mana terjadi ketidakpastian cuaca, ketidakseimbangan alam, maraknya jenis penyakit dan wabah baru, semuanya dipicu pembakaran energi fosil dan emisi karbon yang rakus.
Usaha-usaha raksasa yang bersifat ekstraktif dan merusak lingkungan hidup, harus tegas dikejar dengan pajak yg tinggi. Dana yang dikumpulkan dari pajak itu, harus dipastikan peruntukkannya demi konservasi lingkungan. Kalau tidak, hukum alam akan murka.
Demikian pula, usulan tentang diversifikasi atau ekspansi obyek cukai. Indonesia adalah contoh negara paling “pelit” melahirkan obyek cukai baru. Padahal negara Laos, Thailand, Bolivia, Turky, dan lain-lain, obyek cukainya di atas 5 jenis. Di Tanah Air kita, bersandar cukai rokok/tembakau yang kontribusinya 97%.
Sementara alkohol dan etil alkohol hanya 3%. Makanya, si raja rokok dan terkaya di Tanah Air merasa menjadi “hero” karena berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Anehnya, owner industri rokok ini makin membumbung penghasilannya di tengah pandemi Covid-19. Bukan itu saja, mereka yang penghasilannya di atas Rp5 milyar per tahun menurut Credit Suisse, meroket 61,75% saat pandemi atau di tengah banyaknya rakyat kehilangan penghasilan. Orang-orang kaya di masa pandemi inilah, sejatinya harus diburu sergap melaluii RUU KUP.
Dalam konteks lembaga pendidikan, kesehatan dan usaha mikro, klausul dalam RUU KUP harus hari-hati menerapkannya. Muhammadiyah misalnya, memiliki lembaga seperti itu yang puluhan ribu jumlahnya.
Muhammadiyah bukanlah yayasan, bukan koroporasi, bukan koperasi. Tidak ada SHU dan dividen dalam tubuh Muhammadiyah. Semuanya untuk persyarikatan, operasional Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Dan tentu mayoritas untuk reinventasi dan subsidi silang untuk membangunan AUM-AUM baru.
Jangan heran, jika tiap saat AUM-AUM baru (sekolah, Rumah Sakit, dan lainnya) berlipat ganda pertumbuhannya karena berasal dari pengumpulan dana itu. Pemerintah harus hati-hati memperlakukan Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) seperti ini. Jangan digebyah-uyah dan disamakan dengan lembaga pendidikan dan kesehatan yang komersil yang lain, yang banyak “berjubah” yayasan atau berjubah lembaga filantropis. (Dr. Mukhaer Pakkanna, SE, MM, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta)
Artikel Terkait
UAD Buka Prodi Ilmu Farmasi Program Doktor
Sistem Informasi UKDW Beri Pengalaman di Dunia Profesi Melalui Magang Industri
Dua Perguruan Tinggi Gandeng XL Kembangkan Solusi Digital IoT
DPR Minta Pemerintah Harus Prioritaskan Vaksin Merah Putih
Ketua DPR: Sekolah Tidak Boleh Memaksakan PTM bila Siswa Tak Diizinkan Orangtua